sejarah lanrisang

Cerita dari Kecamatan Lanrisang
Batu Malleppa Depan Masjid Tempat Pejabat Disumpah
Batu ceper (Mallepa) yang juga disebut Lanrasang merupakan cikal bakal nama dari salah satu kecamatan dari 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Pinrang.
Kecamatan tersebut adalah Lanrisang. Batu ceper (mallepa) ini sebelum agama Islam masuk ke Pinrang, menjadi sesembahan masyarakat setempat dan diyakini memiliki kekuatan gaib yang dapat mengatur alam dan menentukan nasib manusia. Lanrisang (Jampue) dahulu merupakan salah satu pusat kerajaan yang memiliki kekuasaan atas wilayahnya sendiri. Kerajaan tersebut tergabung dalam persekutuan Addatuang Sawitto, dan pada masa penjajahan Belanda, yaitu tahun 1905, memperoleh pemerintahan dari pemerintah Belanda dengan status Distrik (pemerintahan swapraja Sawitto). Wilayah kekuasaan Lanrisang pada waktu itu meliputi hampir sebagian barat Addatuang Sawitto yang berhadapan dengan selat Makassar. Posisi Lanrisang dalam persekutuan Addatuang Sawitto sangat penting, karena terletak di daerah pantai (Selat Makassar). Makanya, Lanrisang adalah pintu gerbang masuk ke wilayah Sawitto dari arah barat atau arah Selat Makassar. Menurut sejarahnya, Lanrisang pernah menjadi bandar (pelabuhan) yang cukup terkenal pada masa itu, bahkan disinggahi para pedagang yang berasal dari berbagai suku bangsa yang mencari rempah-rempah di Indonesia Bagian Timur. Lanrisang pada zaman itu memiliki perahu besar yang diberi nama Sikonyarae. Dan pada masa pemerintahan/kerajaan Lamappasompa putra dari Latanricau (Datu Lanrisang) yang bergelar Petta Melae (Petta Matinroe Riamale'na) sekitar tahun 1609, awal masuknya Agama Islam, bersamaan dengan dibangun sebuah tempat ibadah (masjid) yang cukup sederhana yang disebut Lenna Bawang atau Seppo Ritanae dengan ukuran 6X6 meter. Lokasinya di sekitar Kandawarie (Istana Raja) di Kampong Kacampi (Jampue). Pada Masa pemerintahan Pawelloi yang bergelar datu Lanrisang (awal abad 1700 M), bersama menantunya Paamassangi (Petta Toa) sekaligus pemrakarsa, didirikan lagi mesjid di Kampong Lerang berdekatan dengan Kandawarie yang kemudian namanya diganti dengan nama Saoraja yang letaknya di sekitar Masjid Attaqwa. Di depan Masjid Attaqwa lama tersebut, diletakkan Batu Mallepa (Lanrasang) yang dijadikan sebagai tempat pelantikan dan pengambilan sumpah raja secara turun temurun dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh pemangku adat, yaitu menyediakan payung, besi, arajang dan segala perangkatnya, termasuk dayang-dayang dan undangan dari kerajaan lain di lokasi pelantikan. Maka duduklah sang Raja yang akan dilantik (duduk bersila) di atas Lanrasang dan mengangkat sumpah dengan mengenakan pakaian kebesaran raja. Batu mallepa yang diletakkan di sekitar masjid itu juga menjadi tumpuan setiap jamaah masjid, menandakan batu tersebut tidak memiliki nilai magis. Bersamaan pada saat itu, As Syeck Muhammad Abdullah Afandi yang berasal dari Negeri Yaman menetap di Lanrisang. Karena keahliannya di bidang agama Islam, maka ia diangkat menjadi penasehat raja. Pada masa Fatimah yang beergelar Petta Lerang Arung Jampue memegang tampuk kekuasaan, As Syeck Muhammad Ali Afandi yang lebih populer dikenal Puang Janggo putra Syeck Muhammad Ali Bin Abdullah Afandi sebagai Qadi (hakim Agama Islam), wafat di Jampue sekitar tahun 1815. Setelah wafat, kedudukan Qadi digantikan oleh putranya, Muhsin Umar yang saat itu berusia 25 tahun yang dikenal dengan sebutan Kali Jampu. Ia wafat pada hari Sabtu 18 syawal 1421 H, bertepatan 13 Januari 2001. Hingga kini belum ada penggantinya. Untuk mengisi kekosongan itu, Kerukunan Keluarga Lasinrang (KKL) meminta kesediaan Prof KH Ali Yafie menjadi Qadi. Kepala Bidang Kebudayaan dan Kesenian Pinrang, Arham Razak di ruang kerjanya, belum lama ini, mengatakan, batu mallepa tersebut hingga masih ada di depan Masjid Attaqwa. Hanya saja tidak lagi digunakan untuk mengambil sumpah pejabat pada saat pelantikan. " Pejabat yang terakhir dilantik di batu mallepa adalah Hamdan Latief BA pada tahun 2002-2006 yang dilantik sebagai camat," katanya. (suardi gattang)

 

1 komentar: